Pendidikan Gratis In Indonesia
Pada awal 1950-an, sebenarnya Indonesia telah menerapkan sistem pendidikan gratis. Bahkan di masa itu, siswa tidak hanya bebas dari beban uang sekolah (SPP), namun juga mendapat alat-alat pelajaran seperti alat tulis, buku tulis, buku pelajaran dan penggaris.
Berbeda dengan Perancis, sistem pendidikan gratis kita gagal menekan lahir dan berkembangnya virus Korupsi. Bahkan. justru sistem pendidikan kita menjadi lahan subur lahir dan berkembangnya virus Korupsi. Hal ini dilatarbelakangi oleh ketidaksuksesan kita melakukan revolusi paradigmatik; melepaskan mental feodal yang telah berakar dalam benak kita.
Secara formal, kita telah sukses mengaplikasikan sistem pendidikan modern yang demokratis, tidak ada lagi diskriminasi sosial-ekonomi dan gender. Akan tetapi, kita gagal melakukan revolusi mental feodal, sehingga masih kuat memberikan corak dalam pola relasional guru dan siswa dalam kelas maupun Dinas Pendidikan dan sekolah. Guru tetap menjadi pemegang hegemoni absolut dalam proses pembelajaran dalam kelas, sebagaimana Dinas Pendidikan yang masih kuat mengatur hitam-putih sekolah-sekolah, melalui UNAS, Sertifikasi Guru, Standarisasi Sekolah, dan lain sebagainya. Simpulannya, output pendidikan kita masih bermental feodal karena belajar dan berkembang dalam sistem pendidikan yang masih feodal banget.
Parahnya, pemusatan hegemoni kebijakan-kebijakan pendidikan di lingkaran pusat diikuti dengan program perencanaan yang bersifat pragmatis dan tambal sulam. Dampaknya adalah proses pendidikan tidak bermuara pada output yang berkualitas. Karena, bidang pendidikan seringkali hanya kanal kepentingan pihak yang sedang berkuasa di pemerintahan, bukankah kurikulum pendidikan di Indonesia senantiasa berubah sejalan dengan pergantian kabinet di pemerintahan?
Di satu sisi, kebijakan pemerintah di bidang pendidikan yang bersifat pragmatis dan tambal sulam tidak pernah menyentuh problematika pendidikan secara rill. Dari waktu ke waktu, siswa di lingkungan pendidikan formal masih terikat dalam kompleksitas materi masing-masing mata pelajaran. Ketentuan SKM yang mengatur batas minimum nilai sebagai pijakan ketuntasan belajar untuk sekian banyak mata pelajaran, justru hanya menyulitkan siswa dan guru masing-masing mata pelajaran. Ironisnya, hanya beberapa mata pelajaran saja yang masuk dalam mata pelajaran UNAS, dengan passing grade yang senantiasa bertambah sebagai tolak ukur kelulusan. Orientasi nilai tersebut mengakibatkan output pendidikan kita tidak memiliki jaminan kualitas secara holistik.
Akan tetapi, benarkah Indonesia telah menerapkan sistem pendidikan gratis? Keraguan tersebut sewajarnya muncul mengingat faktanya sekolah negeri pun masih memungut biaya pendidikan dari wali murid (masyarakat), padahal biaya pendidikan juga mencakup alat-alat pelajaran, iuran ekstrakurikuler, sumbangan uang gedung, biaya tes masuk, iuran kenaikan kelas, iuran ujian, iuran ijazah, dll.
Sistem pendidikan gratis yang digulirkan oleh pemerintah menjumpai paradoks dengan fakta di lapangan, bahkan dengan pemberlakuan UU BHP. Dewasa ini, lembaga pendidikan mengalami metamorfosis sempurna, dari lembaga sosial nir laba menjadi lembaga bisnis di bidang pendidikan. Sayangnya, metamorfosis sempurna ini tidak diikuti dengan output pendidikan berkualitas sebagai tolak ukur harga sahamnya di masyarakat. Keberhargaan suatu lembaga pendidikan diukur dengan kemutakhiran infrastruktur dan metode pembelajaran, seperti LCD, komputer, laboratorium, dsb. Padahal, kembali lagi pembiayaannya dibebankan kepada wali murid (masyarakat).
Korupsi
Kita semua menyadari bahwa korupsi tidak akan bisa diseleseikan hanya dengan mekanisme undang-undang atau besarnya sanksi hukum. Hal ini dikarenakan korupsi, sebagai sebuah virus, telah berkembang biak dan bermutasi menjadi sebuah perilaku budaya yang wajar dilakukan oleh siapa saja, di mana saja, dan kapan saja.
Robert K. Merton dalam bukunya “Social Theory and Social Structure” (1957) menyatakan bahwa korupsi termotivasi oleh sikap yang berasal dari tekanan-tekanan sosial yang melahirkan pelanggaran-pelanggaran norma. Dalam negara yang berbudaya dengan keberhasilan ekonomi sebagai sebuah tujuan utama pembangunan, maka negara tersebut akan memberi ruang yang lebih bagi mutasi virus korupsi. Ketika virus korupsi berkembang di lingkungan kekuasaan pemerintahan, mereka dapat bermutasi menjadi virus manipulasi, baik data informasi maupun opini. Sedangkan, ketika berkembang di lingkungan organisasi yang lebih kecil, virus korupsi dapat bermutasi menjadi virus kolusi dan nepotisme, kedekatan kekerabatan darah atau visi-misi menjadi habitat subur perkembangannya.
Kita boleh meyakini bahwa para koruptor dulunya ketika berada di bangku sekolah termasuk siswa yang pandai. Akan tetapi, bagaimana mungkin siswa yang dulunya pandai tersebut ketika lulus mampu menjadi koruptor? Apakah mereka sedang mengingkari amanat hakiki dari intelektualitasnya? Atau mungkinkah ada yang kurang beres dengan pendidikan di Indonesia?
Mengingat bulan Juli adalah bulan awal bergulirnya tahun ajaran baru, pertanyaan yang terakhir tersebut memiliki urgensi untuk segera ditemukan jawabannya secara reflektif. Di satu sisi, ada polemik yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, menyoal adanya mata pelajaran Anti Korupsi (Anti Korupsi Kolusi dan Nepotisme, KKN) di lembaga-lembaga pendidikan formal. Pemerintah, melalui Dinas Pendidikan, meyakini bahwa adanya mata pelajaran ini akan memberikan sumbang-sih konkret guna menurunkan catatan kriminal tindak pidana korupsi.
Dari sudut pandang akademik, rekomendasi pemerintah untuk memberikan mata pelajaran Anti Korupsi pada lembaga pendidikan formal sebagai langkah preventif berkembangnya virus korupsi ternyata belajar pada kebijakan dunia pendidikan di Perancis. Bukan bermaksud mengatakan bahwa Perancis adalah negara dan bangsa yang imun dari virus Korupsi, akan tetapi, secara faktawi, Perancis mampu mengontrol perkembangbiakan dan mutasi virus tersebut hingga tidak menjangkiti semua elemen bangsa dan negara, termasuk di dalamnya pendidikan itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar